LAPORAN
PRAKTIKUM
AGROKLIMATOLOGI
CURAH HUJAN
FERDY OKTAVIYAN
05101007030
PROGRAM STUDI
AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
INDRALAYA
2011
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Curah hujan adalah
unsur iklim yang sangat berubah-ubah dari tahun ke tahun, adalah penting bahwa
setiap analisis iklim pertanian mempertimbangkan variabilitas ini dan tidak
hanya didasarkan atas nilai rata-rata. Total curah hujan tahunan untuk kano
(12oU) dari tahun 1916 sampai 1975. Ini adalah catatan curah hujan khas dengan
variasi besar dan disertai periode-periode pendek di atas dan di bawah curah
hujan rata-rata. Curah hujan rata-rata adalah 850 mm dan total tahunan berkisar
dari 416 mm pada tahun 1975 sampai 1181 pada tahun 1931.
Evaporasi (penguapan)
terjadi Ketika air dipanaskan oleh sinar matahari, permukaan molekul-molekul
air memiliki cukup energi untuk melepaskan ikatan molekul air tersebut dan
kemudian terlepas dan mengembang sebagai uap air yang tidak terlihat di
atmosfir.
Hujan turun dari awan,
adanya awan belum tentu turunnya hujan. Hujan baru turun bila butir-butir air
di awan bersatu menjadi besar dan mempunyai daya berat yang cukup dan suhu di bawah
awan harus lebih rendah dari suhu awan itu sendiri, maka butir-butir air yang
telah besar dan berat jatuh sebagai hujan
Curah hujan yang
dinyatakan dalam milimeter (mm) yaitu tinggi lapisan air yang jatuh di atas
permukaan tanah, andaikata air tidak meresap ke dalam tanah, mengalir atau
terjadi penguapan akan mempunyai volume 1 liter.
Curah hujan sering
disebut dengan presipitasi. Presipitasi adalah air dalam bentuk cair atau padat
yang mengendap ke bumi yang selalu didahului oleh proses kondensasi atau
sublimasi atau kombinasi keduanya yang sering dinyatakan dalam mm. Uap air
merupakan sumber presipitasi seperti hujan dan salju. Jumlah uap air yang
terkandung dalam udara merupakan indikator potensi atmosfer untuk terjadinya
presipitasi. Kandungan uap air diatmosfer hanya kurang dari 2 % dari total
volume di atmosfer. Kandungan uap air dapat bervariasi antara 0 % hingga 3 %
didaerah lintang menengah dan dapat mencapai 4 % di daerah tropika basah.
Hujan
merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu maupun
tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi
kegiatan pertanian secara umum, oleh karena itu klasifikasi iklim untuk wilayah
Indonesia (Asia Tenggara umumnya) seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan
curah hujan sebagai kriteria utama.
Dengan adanya hubungan sistematik antara
unsur iklim dengan pola tanam dunia telah melahirkan pemahaman baru tentang
klasifikasi iklim, dimana dengan adanya korelasi antara tanaman dan unsur suhu
atau presipitasi menyebabkan indeks suhu atau presipitasi dipakai sebagai
kriteria dalam pengklasifikasian iklim.
B.
Tujuan
Dalam praktikum agroklimatologi mengenai curah hujan
ini, memiliki tujuan yaitu untuk mengenal alat yang digunakan untuk mengukur
curah hujan serta mengenal bagian-bagian dari alat tersebut. Selain itu, untuk
mengetahui cara pengmbilan data serta penetapan curah hujan dari alat tersebut
alat di suatu daerah.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Hujan
adalah kebasahan yang jatuh ke bumi dalam bentuk cair. Butir-butir hujan
mempunyai garis tengah 0,08 – 6 mm. Hujan terdapat dalam beberapa macam yaitu
hujan halus, hujan rintik-rintik dan hujan lebat. Perbedaan terutama pada
besarnya butir-butir. Hujan lebat biasanya turun sebentar saja jatuh dari awan
cumulonimbus. Hujan semacam ini dapat amat kuat dengan intensitas yang besar
(Karim,1985).
Curah hujan dapat diukur dengan alat
pengukur curah hujan otomatis atau yang manual. Alat-alat pengukur tersebut
harus diletakkan pada daerah yang masih alamiah, sehingga curah hujan yang
terukur dapat mewakili wilayah yang luas. Salah satu tipe pengukur hujan manual
yang paling banyak dipakai adalah tipe observatorium (obs) atau sering disebut
ombrometer. Curah hujan dari pengukuran alat ini dihitung dari volume air hujan
dibagi dengan luas mulut penakar. Alat tipe observatorium ini merupakan alat
baku dengan mulut penakar seluas 100 cm2 dan dipasang dengan ketinggian mulut
penakar 1,2 meter dari permukaan tanah (jumin, 2002)
Alat pengukur hujan otomatis biasanya
memakai prinsip pelampung, timbangan dan jungkitan. Keuntungan menggunakan alat
ukur otomatis ini antara lain seperti, waktu terjadinya hujan dapat diketahui,
intensitas setiap terjadinya hujan dapat dihitung, pada beberapa tipe alat,
pengukuran tidak harus dilakukan tiap hari karena periode pencatatannya lebih
dari sehari, dan beberapa keuntungan lain (Sutedjo, Mul Suryani dan
Kartasapoetra. 2005).
Curah hujan dapat diklasifikasikan
berdasarkan bentuk atau unsur-unsur presipitasi yakni pertama,hujan. Hujan
adalah butir-butir air yang jatuh ke bumi dalam bentuk cair. Butir-butir hujan
mempunyai garis tengah 0,08 – 6 mm. Macam hujan yaitu hujan halus, hujan
rintik-rintik dan hujan lebat. Perbedaan terutama pada besarnya
butir-butir. Hujan lebat biasanya turun sebentar saja dari awan cumulonimbus.
Hujan semacam ini dapat amat kuat dengan intensitas yang besar. Kedua salju,
terjadi karena sublimasi uap air pada suhu dibawah titik beku. Bentuk dasar
dari slju adalah hexagonal akan tetapi hal ini tergantung dari suhu dan cepatnya
sublimasi. Dan yang ketiga, hujan ES. Hujan es jatuh pada waktu hujan guntur
dari awan cumulonimbus. Didalam awan terdapat konveksi dari udara panas dan
lembab. Dalam udara panas dan lembab yang naik secara konvektif, dan terjadilah
sublimasi. Bilamana aliran menjadi lemah, butir-butir air akan turun sehingga
sampai pada bahagian bawah, disini mengisap air sehingga sebagian membeku oleh
inti yang sangat dingin itu (Handoko, 1986).
Curah hujan
dapat diukur dengan alat pengukur curah hujan otomatis atau yang manual.
Alat-alat pengukur tersebut harus diletakkan pada daerah yang masih alamiah,
sehingga curah hujan yang terukur dapat mewakili wilayah yang luas. Salah satu
tipe pengukur hujan manual yang paling banyak dipakai adalah tipe observatorium
(obs) atau sering disebut ombrometer. Curah hujan
dari pengukuran alat ini dihitung dari volume air hujan dibagi dengan luas
mulut penakar. Alat tipe observatorium ini merupakan alat baku
dengan mulut penakar seluas 100 cm2 dan dipasang dengan
ketinggian mulut penakar 1,2 meter dari permukaan tanah. ( Jumin, 2002).
Evaporasi
merupakan konversi air kedalam uap air. Proses ini berjalan terus hampir tanpa
berhenti disiang hari dan kerap kali dimalam hari, perubahan dari keadaan cair
menjadi gas ini memerlukan energi berupa panas laten untuk evaporasi, proses
tersebut akan sangat aktif jika ada penyinaran matahari langsung,
awan merupakan penghalangan radiasi matahari dan penghambat proses
evaporasi. Jika uap air menguap ke atmosfer maka lapisan batas antara permukaan
tanah dan udara menjadi jenuh oleh uap air sehingga proses penguapan
berhenti,agar proses tersebut berjalan terus,lapisan jenuh harus diganti dengan
udara kering, pergantian itu hanya mungkin jika ada angina,yang akan menggeser
komponen uap air,kecepatan angina memegang peranan penting dalam proses
evaporasi. (Wahyuningsih, 2004).
Evaporasi yang
terus menerus memerlukan pemindahan uap air dari permukaan sedikit ke
atas,tanpa memindahkan udara dekat bumi, udara itu akan jenuh dengan uap air
dan evaporasi akan berhenti. Molekul air terus menerus bergerak
melewati permukaan air ke atmosfer bumi. Bila jumlah molekul-molekul yang
keluar dari permukaan lebih besar dari pada jumlah yang kembali ke permukaan
air maka terjadi evaporasi. Pergantian secara netto hanya merupakan
sebagian kecil dari jumlahnya (AAK, 1997).
Informasi curah hujan
diperlukan mengenai jumlah hujan, jumlah hari hujan dan sebarannya menurut
waktu. Kelembaban berkaitan dengan pertumbuhan hama dan penyakit tertentu pada
berbagai tanaman. Suhu berkatan dengan umur tanaman, pertumbuhan generatif,
pembentukan biji, buah dan gangguan fisiologis lainnya. Angin diperlukan untuk
penguapan, penyerbukan, keseimbangan kandungan udara, bahkan tenaga angin dapat dipakai untuk
menggerakan berbagai alat mekanik pertanian. Yoshida and Parao (1976)
menyatakan suhu, radiasi surya dan curah hujan mempengaruhi pertumbuhan dan
hasil padi melalui dua cara. Pertama secara langsung, iklim mempengaruhi proses
fisiologis tanaman, seperti pertumbuhan vegetatif, susunan organ-organ
penyimpanan dan pengisian gabah. Kedua secara tidak langsung mempengaruhi hasil
gabah melalui kerusakan oleh hama dan penyakit yang menyerang tanaman.
nformasi iklim yang
diperlukan untuk pertanian praktis sifatnya (Darwis, 1992), agak bebeda dengan
informasi iklim yang ada sekarang ini tersedia. Yang diperlukan lebih spesifik
antara lain:
1. Informasi wilayah
Berdasarkan sifat iklim
suatu wilayah, komoditas pertanian apa yang sesuai di daerah tersebut untuk
dikembangkan mungkin dapat dibedakan atas komoditas sesuai dan sesuai
bersyarat.
2. Informasi Komoditas
Sebagai contoh bila ada orang mau
menanam mangga. Dimana daerah yang cocok iklimnya untuk
tanaman tersebut. Kalau dapat dilengkapi dengan informasi sifat tanah, luas
areal, social ekonomi dan lain sebagainya, yang mendukung pertumbuhan dan
produksi mangga. Contoh lain, kalau di Padang Sidempuan iklim mikro dan sifat
tanah telah cocok untuk bertanam Salak dengan pertumbuhan dan produksi telah
maksimal, seharusnya didaerah itu jangan dikembangkan lagi komoditas lain yang
dapat mengganggu areal Salak seperti Kelapa Sawit dan Karet serta pemukiman.
3. Pola Curah hujan
Pola curah hujan selama
satu musim atau satu tahun yang akan datang, sangat diperlukan untuk
merencanakan pertanian. Kapan, berapa lama, berapa banyak curah hujan pada
suatu lokasi tertentu. Secara terinci dapat diinformasikan berapa persen
peluang curah hujan sejumlah yang diharapkan dapat diperoleh. Hal ini dapat
berbeda untuk komoditas yang berbeda pula. Untuk mendukung ini sebenarnya dari
zaman Belanda sampai era tahun 70-an masih sangat banyak pengamatan curah hujan
di Sumatera Utara dengan system kerja sama antara BMG dengan instansi terkait
lainnya. Namun belakangan ini makin sedikit pengamatan yang berkesinambungan
dilaksanakan. Tentu saja berakibat informasi ini tidak setiap tempat dapat
tersedia, padahal dengan system kerja sama tersebut BMG menyediakan alat dan
hasil analisisnya. Instansi terkait yang melakukan pengamatan dan mengirim data
ke BMG.
4. Peluang Kekeringan
Tidak hanya pola curah
hujan yang perlu diprakirakan. Peluang terjadinya kekeringan pun perlu dikaji
dengan seksama. Berapa persen peluang terjadinya kekeringan pada satu waktu
didaerah tertentu. Kapan akan terjadinya pun sebenarnya dapat diprakirakan. Hal
ini semua hanya dapat dilakukan jika data tersedia dengan lengkap di
daerah-daerah sentra pertanian khususnya.
5. Peta Iklim
Peta iklim untuk pertanian
seyogianya selalu dapat diperbaharui secara berkala, terutama untuk pola curah
hujan dengan data-data mutakhir. Dewasa ini walaupun Sumatera Utara telah
memiliki peta iklim (zone agroklimat menurut Oldeman) yang disusun tahun 90-an
sebenarnya harus selalu di up dating secara berkala sesuai dengan data-data
mutakhir (Darsiman, dkk, 1999). Persoalan kita adalah data-data mutakhir
volumenya makin menurun. Salah satu penyebabnya adalah, sebelumnya semua
stasiun hujan yang ada, BMG bekerjasama dengan Diperta, Disbun, Dishut dan PU
Pengairan Tk I Sumut, namun setelah Otonomi Daerah belum ada kejelasan Stasiun
Hujan kerjasama yang ada di daerah siapa yang bertanggung jawab secara
structural.
III.
PELAKSANAAN
PRAKTIKUM
A.
Waktu
dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan
pada hari jum’at, tanggal 27 mei 2011,
pukul 17.00 wib – 18.00 wib, dan pada hari sabtu, tanggal 28 mei 2011, pukul
06.00 wib -12.00 wib di Agro Techno Park 1 daerah Gelumbang Sumatera Selatan.
B.
Alat
dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah
pengukuran suhu adalah thermometer, tabel pengamatan dan alat-alat tulis.
C.
Cara
Kerja
Cara kerja dalam praktikum
pengukuran curah hujan adalah sebagai berikut:
1. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Observatorium dipasang sehari sebelum pengamatan, dan alat ini
dipasang pada ketinggian 120 cm dari permukaan tanah.
3. Selanjutnya air yang terdapat dalam corong tersebut dipindahkan
ke dalam gelas ukur dengan diameter 100 cm sehingga volume air hujan dapat
dihitung.
4 Pengamatan dilakukan secara berkala, setelah pengamatan awal
dilakukan pengamatan selanjutnya dilakukan setelah 30 menit pengamatan pertama.
Dan dilakukan secara terus-menerus sampai batas waktu yang telah ditentukan.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Berikut adalah tabel hasil pengamatan pada praktikum
curah hujan:
Jam
|
Curah Hujan
|
17:00
|
-
|
17:30
|
-
|
18:00
|
-
|
06:00
|
21,4
|
06:30
|
21,4
|
07:00
|
21,4
|
07:30
|
21,4
|
08:00
|
21,4
|
08:30
|
21,4
|
09:00
|
21,4
|
09:30
|
21,4
|
10:00
|
21,4
|
10:30
|
21,4
|
11:00
|
21,4
|
11:30
|
21,4
|
12:00
|
21,4
|
B.
Pembahasan
Pada praktikum ini kami dari
kelompok II mengambil sampel pengamatan curah hujan pada pukul 17.30 WIB, dan
pukul 09.00 WIB, dan diperoleh hasilnya sebagai berikut jumlah curah hujan pada
pukul 17.30 WIB yaitu tidak diketahui datanya, karena hari itu hujan sama
sekali tidak turun. Pada pukul 09.00 WIB, curah hujan yaitu 21,4 mm. Semakin
deras hujan yang turun maka semakin besar volume curah hujan yang di dapat.
Hujan
merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu maupun
tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi
kegiatan pertanian secara umum, oleh karena itu klasifikasi iklim untuk wilayah
Indonesia (Asia Tenggara umumnya) seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan
curah hujan sebagai kriteria utama.
Dengan
adanya hubungan sistematik antara unsur iklim dengan pola tanam dunia telah
melahirkan pemahaman baru tentang klasifikasi iklim, dimana dengan adanya
korelasi antara tanaman dan unsur suhu atau presipitasi menyebabkan indeks suhu
atau presipitasi dipakai sebagai kriteria dalam pengklasifikasian iklim.
Dari hasil pengamatan
dapat diketahui bahwa curah hujan rata-rata 21,4 mm.
Hal ini menunjukkan bahwa hujan merupakan salah satu siklus hidrologi, dimana
terjadi terus menerus selama perputaran siklus. Air menguap keatas lalu
turun ke permukaan lagi dan menguap lagi. Hujan
memainkan peranan penting dalam siklus hidrologi. Lembaban
dari laut menguap, berubah menjadi awan, terkumpul menjadi awan mendung, lalu turun kembali ke bumi, dan akhirnya kembali ke laut melalui sungai dan anak sungai untuk mengulangi daur ulang itu semula.
Tingginya suhu yang lembab menyebabkan
banyaknya hujan terjadi karena asumsi suatu massa udara yang lembab tersebut. Hujan terjadi dari adanya udara lembab yang
esensial. Jika udara terlalu kering, hujan dapat jatuh dari awan dan tidak
pernah menjangkau tanah. Jejak hujan yang kelihatan tidak menjangkau tanah itu
disebut virga. Asumsi bahwa suatu massa udara lembab, ada empat penyebab utama
timbulnya hujan lebat. Semua penyebab ini mempunyai pengaruh bagaimana membuat
udara yang hangat naik. Pada kenaikan tekanan yang lebih rendah
bergerak ke arah yang lebih luas dan kehilangan panas, resultan yang mendingin
berarti lebih sedikit embun yang dapat ditahan dan hujan pun terjadi.
Adapun alat yang digunakan
untuk mengukur curah hujan adalah observatorium, prinsip kerja alat ini di
pasang pada tempat terbuka dengan sudut 45 0 dari sudut pandang
permukaan corong ke sekitarnya, alat ini di pasang pada ketinggian 120 cm dari
permukaan tanah hingga mulut corong.
Penakar hujan yang baku digunakan di Indonesia adalah tipe
observatorium. Semua alat penakar hujan yang beragam bentuknya atau yang
otomatis dibandingkan dengan alat penakar hujan otomatis (OBS). Penakar hujan
OBS adalah manual. Jumlah air hujan yang tertampung diukur dengan gelas ukur
yang telah dikonversi dalam satuan tinggi atau gelas ukur yang kemudian dibagi
sepuluh karena luas penampangnya adalah 100 cm sehingga dihasilkan satuan mm.
Pengamatan dilakukan sekali dalam 24 jam yaitu pada pagi hari. Hujan yang
diukur pada pagi hari adalah hujan kemarin bukan hari ini.
Penakar curah hujan
tipe manual mempunyai beberapa kerugian, antara lain pada waktu hujan lebat,
kemungkinan air akan meluber sehingga hasil pengukuran tidak menunjukkan
pengukuran sebenarnya,sejumlah air di dalam tabung kemungkinan bukan berasal
dari air hujan tetapi dari kondensasi,serta intensitas hujan tidak dapat
diukur.
Jumlah curah hujan yang
jatuh di permukaan tanah dinyatakan dalam satuan millimeter. Jumlah curah hujan
1 mm menunjukkan tebal air hujan yang jatuh di permukaan tanah 1 mm, jika ir
tersebut meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer.
Air
hujan sering digambarkan sebagai berbentuk "lonjong", lebar di bawah
dan menciut di atas, tetapi ini tidaklah tepat. Air hujan kecil hampir bulat.
Air hujan yang besar menjadi semakin leper, seperti roti hamburger; air hujan yang lebih besar
berbentuk payung terjun. Air hujan yang besar jatuh lebih cepat berbanding air
hujan yang lebih kecil.Beberapa
kebudayaan telah membentuk kebencian kepada hujan dan telah menciptakan
pelbagai peralatan seperti payung dan
baju hujan. Banyak orang juga lebih gemar tinggal di dalam rumah pada hari
hujan.
Biasanya hujan memiliki kadar asam pH 6. Air hujan dengan pH di bawah 5,6 dianggap hujan asam.Banyak orang menganggap bahwa bau yang tercium pada saat hujan dianggap wangi atau menyenangkan. Sumber dari bau ini adalah petrichor, minyak atsiri yang diproduksi oleh tumbuhan, kemudian diserap oleh batuan dan tanah, dan kemudian dilepas ke udara pada saat hujan.
Biasanya hujan memiliki kadar asam pH 6. Air hujan dengan pH di bawah 5,6 dianggap hujan asam.Banyak orang menganggap bahwa bau yang tercium pada saat hujan dianggap wangi atau menyenangkan. Sumber dari bau ini adalah petrichor, minyak atsiri yang diproduksi oleh tumbuhan, kemudian diserap oleh batuan dan tanah, dan kemudian dilepas ke udara pada saat hujan.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas
dan berdasarkan pengamatan dalam praktikum agroklimatologi tentang curah hujan
ini, maka didapatkan kesimpulan yaitu:
1.
Hujan merupakan jatuhnya air ke
permukaan bumi yang memiliki
satu bentuk presipitasi yang berwujud cairan
2. Dengan adanya hujan maka persediaan air di
permukaan tanah akan bertambah sehingga kebutuhan air akan terpenuhi.
3.
Jumlah curah hujan yang jatuh di
permukaan tanah dinyatakan dalam satuan millimeter
4. Curah
hujan tertinggi yang didapat dalam pengamatan yaitu sebesar 21,4 mm
5. Adapun alat yang digunakan untuk mengukur
curah hujan adalah observatorium
B.
Saran
Praktikum
agroklimatologi ini merupakan praktikum yang berperan penting dalam dunia
pertanian. Sehingga dalam praktikum mengenai curah hujan ini sebaiknya para
praktikan bersifat aktif dalam melakukan kegiatan untuk mencoba membongkar alat
sendiri pada saat mengukur curah hujan. Serta dapat mengukur sendiri dalam
mengukur curah hujan di lapangan.
DAFTAR
PUSTAKA
AAK.
2003. Dasar-Dasar Bercocok Tanam. PT Kanisius. Yogyakarta.
Darsiman, B,. Sutrisno.,
Mukri Siregar., Nazaruddin Hisyam. 1999. Kharakteristik
Zone Agroklimat E2 di Sumatera Utara. Makalah Penunjang Kongres IV PERHIMPI
dan Simposium Internasional I, Bogor, 18-20 Oktober 1999. 9 pp
Darwis, S. N. 1992.
Pemantapan Pola Iklim untuk Pertanian. Proc.Symposium Met. Pertanian III.
PERHIMPI. P9-20.
Handoko.
1994. Klimatologi Dasar. PT Dunia Pustaka Jaya. Jakarta.
Jumin,
Hasan Basri. 2002. Agroekologi Suatu
Pendekatan Fisiologi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Karim, K. 1985. Diktat Kuliah Dasar-Dasar Klimatologi. Universitas Syiah Kuala,
Banda Aceh.
Sutedjo, Mul Suryani dan Kartasapoetra.
2005. Pengantar Ilmu Tanah. PT RINEKA
CIPTA, Jakarta.
Wahyuningsih, Utami. 2004. Geografi.
Pabelan. Jakarta
Yoshida, S., and F.T
Parao. 1976. Climate influence on yield
and yield components of lowland rice in tropics. Proc. Of Symposium on Climate
and Rice. The Int. Res. Inst. Los Banos, Philippines. P471-494
Tidak ada komentar:
Posting Komentar